Hei, ingin aku berteriak sangat kencang ketika kau juga tak bisa mengerti bahwa aku masih di sini. Aku masih berdiri di tempat yang sama ketika pertama kali kau mencium keningku. Senja waktu itu. Ingatkah.
Sungguh betapa indah hari itu, ketika kau ternyata memiliki rasa yang sama denganku, dan satu kejutan yang luar biasa ketika kau memintaku untuk menjadi kekasihmu. 31 Desember 2010, malam tahun baru saat itu. Aku tak akan pernah bisa begitu saja melupakan segala yang telah menempel di hardisk otakku, di dasar otakku, yaitu dirimu.
Waktu terus berputar tanpa kusadari aku mulai menyayangimu, bukan sekedar mengagumimu saja seperti ketika pertama kali aku mengenalmu.
Hendry Prasetyo. Kusebut namamu berkali-kali ditiap malam sebelum mataku terpejam memeluk pigura berukir tawamu dan tawaku, membaur menjadi satu kehangatan, tanpa kuakui, namun kusadari kini.
Aku memang egois dengan segala tuntutanku akan dirimu, akuilah bahwa sesungguhnya aku memang egois. Egois dengan segala hal yang aku tuahkan padamu. Namun akuilah juga bahwa sifatmu itu membuatku takut, membuatku sakit untuk melangkah mendekatimu. Tanpa kau sadari, kau menggoreskan trauma itu, trauma untukku mendekatimu dan menyentuh bayangmu. Harusnya kau mampu merubah, harusnya bukan sekedar janji saja, harusnya kau bisa mengusahakannya, dan harusnya aku bisa sedikit lebih bersabar denganmu. Namun anganku tak sama dengan nyataku, aku tak mampu untuk menunggumu terlalu lama, menunggumu yang berdiam tanpa adanya perubahan menjadi lebih baik.
Sayang, simpati, kasih, cinta, perhatian, benci, kesal, kecewa, kangen, semua menjadi satu ketika waktu bergulir begitu cepat kulalui denganmu. Lekukan wajah tanda amarah, bibir manyun, dahi berkerut, hingga menjadi tawa yang mengembang lebar, semua mampu kau ubah dengan caramu sendiri, dengan cara yang tak orang lain miliki.
Sayang, kusadari semuanya terlambat. Aku menyadari semuanya ketika aku telah melepasmu. Saat itu, 31 Januari 2010, ketika puncak amarahku berada dititik teratas, aku tak kuasa bertahan lebih lama. Aku mulai lelah menangis walaupun kuakui aku terisak sangat hebat ketika aku meninggalkanmu dengan roti berlilin angka satu sore itu. Mungkin kau tak akan pernah memahami bagaimana rasanya, sakit, perih, dadaku sesak sekali, umpet rasana, lalu pipiku basah. Kau tak boleh tahu, aku menangis karenamu, dan bukan untuk yang pertama kali.
Kini aku harus berterimakasih padamu, kau membuatku lupa tentangnya. Tentang dia yang sangat lama membuatku terpuruk dalam jurang mimpi. Hanya saja aku menunggu waktu yang tepat untuk menceritakannya padamu bahwa kaulah yang mengalihkan sayangku untuknya menjadi kepadamu dengan Cuma-Cuma. Aku takut jika kau menganggapku berlebihan dengan rasaku. Tapi memang begini adanya, rindu ini menjadi sesak manakala kau masih begitu memerhatiakanku terkadang. Aku kangen diatosin, kangen dicuekin, kangen dimarahin, kangen dicemburuin, kangen dipanggil sayong, kangen dipelototin, kangen dimanjain. Over all, aku kangen Hendry ..
Aku takut menghadapi segala takdir yang telah Kau gariskan untukku, yang semula kulihat cerah kali ini terlihat semakin buram, aku tak mengerti akankah menjadi gelap, kumohon, Tuhan, jangan gelapkan hidupku.
Aku takut menunggu kepastianMu, aku terpuruk mengetahui ada yang hilang dariku, Tuhan. Aku belum siap, Tuhan, ketika mereka akan meninggalkanku perlahan. Aku menyayangi mereka, Tuhan.
Tiap hari, aku menghitung nafas, akankah aku tegar menghadapi semuanya, bahwa aku berbeda dari mereka, bukan begitu, Tuhan. Sering aku bertanya, mengapa harus aku, mengapa harus saat ini, disaat aku sedang bahagia untuk menggenggam berbagai cita-cita masa depanku. Tuhan, Kau kandaskan semuanya, Kau tarik seluruh mimpi-mimpiku, aku hampa, Tuhan. Aku kosong.
Tuhan, aku takut menghadapi kenyataan ini, aku tak kuasa menahan tiap bulir air mataku ketika mengingat segala kelam hidup yang Kau takdirkan untukku. Kumohon, Tuhan. Berikan aku kesempatan kedua. Satu kali lagi kesempatan untuk membuat mereka yang kusayangi tersenyum melihat keberadaanku, untuk membuat mereka yang kucintai tertawa mendengar suaraku. Jangan renggut mereka dari hidupku, Tuhan. Renggut saja aku bila aku harus hidup tanpa mereka semua.
Tuhan, aku tak ingin mereka tahu. Entah karena ketakutanku melihat kekecewaan atau justru simpati berlebihan mereka akan diriku. Aku tak ingin mereka melihat keterpurukanku, aku tak ingin mereka melihat ada yang berbeda denganku, bahwa aku tidaklah sama dengan mereka. Yang membuatku takut adala ketika aku harus melihat satu-persatu dari mereka meninggalkanku. Tuhan, kumohon jangan Kau lakukan itu kepadaku.
Biar aku sendiri saja yang merasakannya, aku telah merelakan diriku untuk kembali padaMu, namun jangan Kau renggut mereka dariku, Tuhan. Beri aku sirkulasi baru untuk menjalani segalanya dengan kekuranganku ini, ketidaksempurnaanku.
Tuhan, aku mohon, berikan satu lagi kesempatan untukku bertahan, untukku membuat segalanya baik-baik saja. Hilangkan satu kemungkinan terburuk itu, Tuhan. Aku mohon padaMu. Aku tak siap, Tuhan, tak akan pernah siap hingga Kau menyuruh malaikat memberitahukannya pada waktu aku telah mencapai segala mimpiku di sini. Tuhan, dengarlah doaku ini, Beri aku kesempatan untuk mewarnai kanvas baruku, berikan aku kekuatan untuk menjalani segala takdir yang Kau limpahkan untukku. Jauhkan segala takdir yang tak seorangpun mengharapkannya kepadaku. Tuhan, berikan aku kesempatan itu. Aku mohon, Tuhan, satu kali lagi, satu lagi ..
Siapa kamu yang berhak memberiku berbagai mimpi-mimpi indah, siapa kamu hingga membuat mimpi-mimpi indah itu menjadi harapan-harapan, siapa kamu yang membuatku berusaha menggapai segala harapan yang telah kamu ciptakan, siapa kamu yang membuatku berdoa ditiap sujudku dan meminta pada-Nya agar harapan itu menjadi nyata dimataku, siapa kamu yang memberiku janji-janji akan penyaguhan hidup ketika aku diambang kematian, siapa kamu berhak datang dan pergi sekehendakmu dan meninggalkan luka yang begitu pahit untuk sekedar dikecap, siapa kamu, siapa kamu ..
Siapa kamu yang menulis hariku dengan roman, mewarnai hariku dengan pelangi warna-warni, melukis sinar mentari ketika mendung, menyanyikan senandung akan harapan, berputar dan menari mengikuti irama hati.
Siapa kamu. Kamu siapa. Siapa kamu berani mengambil hampir seluruh hari-hari senduku menjadi tawa, merubah keputusasaan menjadi semangat, membungkus luka dengan kasa putih.
Siapa kamu yang tiba-tiba menghilang, yang tiba-tiba membawa satu cinta untukmu dan terbacakan sakit olehku ..
Siapa kamu menghiang dan lenyap begitu saja ..
Siapa kamu yang tiba-tiba datang ketika aku telah berhasil melupakan segala sakit tentangmu.
Siapa kamu yang menyihirku menerimamu kembali dengan lapang.
Siapa kamu yang lagi-lagi memberiku penyaguhan hidup, lalu kamu hempaskan aku hingga lenyap tak berarti.
Siapa kamu yang membuatku sangat mengharapkanmu dengan segala janji semu ketika aku diambang kehancuran.
Siapa kamu yang pergi meningggalkanku dengan sejuta pelik kehancuran dan segenggam janji kosong darimu.
Siapa kamu yang membuatku terpuruk lebih dalam lagi lebih dalam lagi.
Kamu, bukan kamu yang membuatku berdiri dan menengadahkan kepala untuk melupakanmu, benar-benar melenyapkanmu dan janji abstrak melankolis itu. Aku bersumpah untuk jauh membuang apa yang orang lain elukan sebagai sayang, yang orang banggakan sebagai cinta, kuyakin tak benar adanya.
Kamu adalah sebatas janji semu.
Aku adalah penyaguhan hidup atas diriku sendiri, tanpamu, sekali lagi kutegaskan, tanpamu ..
Hell yeah. Apa yang harus aku tulis sekarang. Aku tidak tahu harus menulis apa. Banyak sekali kata yang ingin mencuat keluar dari hatiku, tapi lagi-lagi terpojok di otakku saja. Tidak lagi bisa mengalir indah di jari-jemariku.
Satu kalimat yang sedari tadi menggantung di permukaan otakku. ‘Aku cinta mami’. Dari sekian juta orang yang kutemui hanya beliaulah yang paling mengerti aku nomor 2 setelah Allah. Entah bagaimana aku ingin meluapkan pada beliau bahwa aku begitu mencintainya. Amat sangat menyayanginya. Begitu besar kasihku untuknya. Tanpa disadari, hanya beliaulah dan juga keluargaku yang dapat menerimaku apa adanya, apapun dan bagaimanapun keadaanku. Dan beliau salah satu yang paling kusayang di dunia ini. Nomor satu setelah Allah tentu saja.
Kadang aku tersenyum mengingat semua hal tentang rasa bahagiaku dan amarahku untuk beliau. Rasa kecewa, gundah, galau, sedih, bahagia, semuanya.
Beliau benar-benar menyayangiku, aku yakin itu. Layaknya semua ibu di dunia. Mereka mempunyai cara sendiri untuk mengungkapkan rasa sayangnya, melalui apapun itu. Begitu juga dengan ibuku.
Satu dua memori mulai melintas di benakku, lalu sili berganti memori memori indah lainnya mengikuti.
Aku ingat benar kapan terakhir aku mulai makan tanpa disuapi oleh beliau. Percaya atau tidak, aku makan tanpa disuapinya baru beberapa bulan silam. Sekitar liburan kelulusan tahun ini. Aku juga tak pernah lupa ketika semua orang mengejekku karena mereka pikir aku sudah terlalu besar untuk disuapi. Dan aku tak peduli mereka semua berkata apa tentang diriku. Yang aku tahu aku menyukainya. Aku menyukai tiap suapan lembut yang beliau berikan untukku. Suapan kasih, suapan sayang, suapan cinta yang maha dahsyatnya. Aku akan selalu ingat. Akhir kelas sembilan aku dihadapkan oleh berbagai ujian mingguan, ujian bulanan, try out, mid, jam ke-nol, les tambahan, dan banyak kegiatan yang menunjang kelulusanku. Aku harus berangkat pagi. Jam enam pagi aku harus sudah berangkat karena jam ke-nol dimulai jam enam limabelas. Aku menyadari kebiasaanku yang tak bisa bangun pagi, tapi demi sekolahku, aku rela bangun lebih pagi, menyiapkan segala tugas dan belajar. Aku tak pernah sarapan jika bukan ibuku yang menyuapinya. Biasanya ayahku yang selalu membangunkanku sedangkan ibuku berada di dapur untuk menyiapkan sarapan sejak dini hari. Ketika aku keluar dari kamar mandi, ibuku akan mengikutiku dengan sepiring nasi di tangannya. Menyuapiku sambil menemaniku ganti baju di kamar. Menyuapiku sambil menungguiku yang sibuk dengan persiapan sekolahku. Mengikuti kemanapun aku pergi, ke teras rumah memakai sepatu, masuk lagi mengambil tas lalu mengeluarkan motorku dari rumah. Ibuku selalu mengikutiku, hanya demi beberapa suap nasi yang akan menunjang hariku saat itu. Tiap pagi tiap hari, bertahun-tahun selalu seperti itu. Begitu sabar beliau padaku, banyak kasih yang beliau curahkan untukku, tapi aku tak pernah mensyukurinya. Ada saja masalah kecil yang membuatku menggerutu tak jelas padanya. Aku menyesal jika mengingatnya, yah aku menyesal sekali. Aku merutuki diriku sendiri karenanya.
Aku sadar betapa egoisnya aku beberapa tahun silam ketika ibuku terserang penyakit laknat itu. Penyakit yang mematikan dan membuat kacau seluruh tatanan kehidupan keluargaku. Aku tak bisa menerimanya langsung, menerima kenyataan tanpa ada ibuku yang selalu ada di dapur tiap kali aku bangun tidur dan wudhlu di kamar mandi, aku tak bisa menerima kenyataan tak ada senyum penantian ketika beliau menjemputku sekolah. Aku tak bisa menerima kenyataan melihat ibuku yang begiu aktif dengan pekerjaan kantor dan rumah tangganya tiba-tiba terkulai lemas tak berdaya di pembaringan rumah sakit. Aku tak bisa menerimanya langsung. Aku butuh proses kali itu. Hingga hal itu membuatku menyadari dua hal penting di atas hal penting lainnya. Aku egois pada ibuku, aku tak bisa melawan kesendirianku tanpa ibuku, tanpa aku sadari ibuku mengajariku banyak hal untuk mandiri, untuk beriri sendiri agar aku dapat tetap hidup nanti, tanpa beliau. Dua aku menyayanginya, aku mengasihinya begitu besar hingga aku tak mungkin sanggup untuk kehilangannya lagi. Betapa sakit rasanya ketika aku dibayangi rasa akan kehilangan, menit demi menit, lalu jam, lalu hari berganti. Dua tahun aku terbelenggu bayangan itu. Aku belajar banyak hal karenanya. Aku sedikit mengerti bagaimana menyayangi beliau lebih dan lebih.
Cerita itu hanya dua memori yang melintas di otakku. Hanya dua dari berjuta-juta keindahan yang pernah aku ukir bersamanya. Sejak aku belum menyadarinya hingga aku dilahirkan di dunia ini. Dengan keadaan sempurna, dalam keadaan suci untuk menyayangi beliau. Beliau yang melahirkanku tanpa keluh dan kesah.
Aku memang belum mencintainya dengan sempurna, tapi aku berjanji untuk menyaguhinya, selalu berusaha mencintainya dengan sempurna. Aku tak ingin membuat beliau bangga denganku, tapi aku ingin beliau behagia dengan keberadaanku, dengan seluruh kasih sayang yang beliau berikan untukku, ku kembalikan dengan caraku sendiri untuk mengasihinya.
Aku mengiyakan seluruh permintaanya untukku, sekalipun itu tak pernah aku sukai. Aku menyaguhi seluruh keinginannya sekalipun aku lebih menginginkan yang lain yang menurut diriku lebih baik. Bukankah aku hidup untuk menyenangkan beliau. Dan sesuatu yang beliau senangi adalah sebagian yang terbaik untukku. Aku yakin itu.
Satu menit yang lalu ketika aku sedang menuliskan paragraph demi paragraph ini. Beliau meneriakiku dari ruang tamu, tepat setelah beliau usai sholat isya. Beliau menyuruhku untuk memakai kacamataku. Aku mengiyakannya saja. Satu hal yang aku suka dari beliau. Pandangan ibuku tak pernah luput dariku, beliau mengetahui mana yang terbaik untukku, perhatiannya tak akan habis untukku. Hal sekecil apapun itu.
Aku tak akan menulis kalimat penutup dengan kata ‘I love you, mom’ seperti kebanyakan tulisan dibuat. Karena tanpa aku menuliskannya, kuyakin aku lebih tahu bahwa aku memang benar-benar mencintainya, dengan caraku sendiri tentunya.
Sepeti orang-orang memanggilnya, Kasih , dengan mendengarnya pun aku tahu beliau adalah kasih yang selalu ada untukku. Kasih yang tiada habisnya untuk keluarga dan anak-anaknya, untuk semua yang beliau abdikan. Kasih.
Satu doaku padaMu Tuhan, aku ignin beliau bahagia. Itu saja sudah cukup untukku.
Aku menyusuri koridor depan sekolah yang menuju ruang 23. Jam 10.05. Kali ini kelas sejarah, sepuluh menit lagi bel istirahat pertama, jika aku tak lupa. Kuabaikan tatapan sinis murid-murid, terlebih cewek-cewek, yang on the way ke toilet ataupun apalah aku tak peduli. Aku sampai di depan pintu kelas yang tertutup, kulihat jam di tanganku, masih delapan menit lagi, dan aku berjalan menuju toilet, aku ingin kencing. Aku berlari hingga seorang gadis tiba-tiba terduduk di depanku, aku tak peduli, aku pengen kencing. Aku melengos meninggalkannya hingga aku dengar isakan. Aku terhenti dan menengok. Dia menangis. Kenapa sih cewek tuh emosional banget, dikit-dikit nangis. Gadis itu mungil, imut kalau menangis.
“Kamu kenapa sih ?!” sentaknya membuatku buyar.
“Ngapain kamu.” Tanyaku sedingin mungkin, aku tak suka berbasa-basi dengan orang yang tak aku kenal. Dia diam, membuatku makin penasaran. Tapi aku juga tetap diam, lalu berjalan menjauhinya.
“Bruuukk !” kudengar suara jatuhan, aku menengok lagi, dia terjatuh. Aku heran, selemah itukah cewek.
“Nggak sah liat!” bentak gadis cewek itu melotot, matanya besar sekali hingga aku sedikit terkesiap melihatnya. Tapi cokelat gelap, tapi indah. Aku melengos lagi dan berjalan menuju toilet.
“bruuukkk !!” aku tak menengok.
“Bruuuuukk !!” kali ini aku menoleh, penasaran. Kulihat cewek itu terkulai di lantai, pingsan. Aku menggendongnya dan setengah berlari menuju UKS, dia memang kecil, tapi berat juga, sedangkan UKS di lantai satu tak ada penjaganya, aku membawanya ke UKS lantai atas, tapi tak juga menamukan petugas, SIAL, petugas sekolahku ngaret banget sih datengnya, selalu aja kaya gini. Aku kalap, aku bingung, begitu luasnya kah sekolah ini hingga tak ada yang melihatku, aku membawanya ke atap. Ku copot jaketku, kuletakkan sebagai alas dan kubaringkan dia di sana. Pagi ini mendung.
Aku baru bangun dari tidurku, gerimis. Segera aku menoleh ke kananku, dia tak ada. Ada selembar kertas yang tertindih pena, kuambil.
“Makasih yaa, I’ll return back your jacket soon. Aku pastiin bersih kok.”
Ku saku kertas mungil itu, tanpa nama, tanpa kelas.
Aku jadi males buat dengerin guru-guru ceramah hari ini, aku pulang, sampai parkiran handphone ku bunyi, aku liat layarnya yang lama kelip-kelip, ‘Chira’, aku angkat dengan segan.
“Hallo.”
“Enggak.”
“Hem.”
Aku menutupnya, selalu kutebak, cewekku itu pasti minta jemput. Ngerepotin banget sih, udah ada sopir juga masih aja suruh jemput. Jadi cewek ribet.
Chira bergelayut manja di lenganku, aku mengantri tiket di 21 sedangkan Chira membelikanku makanan. Aku terpaksa ngeliat film menye gini, lagi-lagi permintaan Chira, kalo bisa jujur, aku lebih suka nonton film humor, tapi aku tak ingin Chira serangan jantung mendadak gara-gara ngambek, pembantunya bilang dia penyakitan, aku nggak setega itu.
Bosan, ngantuk, aku lebih suka tidur di rumah daripada harus nonton film nangis-nangisan gini, Chira bersender dipundakku, nangis. Oh shit, bahuku basah kali ini. Lengakap sudah deritaku hari ini.
Pagi ini aku benar-benar berangkat sekolah dalam arti nggak ngaret. Kelas masih sepi pagi ini. Aku ambil bangku paling belakang. Kukeluarkan ipod ku, pasang headset di telinga, lalu tidur.
Aku dibangunkan teman sebangkuku pas perpindahan jam pelajaran, aku bosan, lagi-lagi pikiran setanku untuk bolos, dan kali ini kulakukan lagi.
Sampai di pintu keluar samping aku melihat sedan hitam di depan gerbang, seorang ibu mencium dahi anak perempuannya, anak perempuan itu keluar dari mobil dengan senyum dan langkah ringan, gadis itu lagi, hingga tiba-tiba gadis itu terjatuh tak jauh dari pintu gerbang, cepat-cepat si wanita setengah baya yang kusanggah sebagai ibunya keluar dari mobil dan membantunya berdiri, mengelus pipi gadis itu berkali-kali, matanya sendu, lalu kulihat wanita itu berkata sesuatu, si gadis menggeleng lalu mencium punggung tangan ibunya, berjalan perlahan menuju pintu depan. Aku menyaksikan perlahan. Tiba-tiba gadis itu masuk ke parkiran motor. Aku masih mengamatinya. Lama setelah itu dia keluar, dan masuk ke pintu gedung.
Aku berjalan santai menuju parkiran dan kutemukan jaketku di atas motorku. Wangi, tapi tak seperti baunya Chira yang lama-lama membuatku pusing dan mual, baunya kalem. Aku mengendusnya berkali-kali, lalu kupakai jaket itu. Ada kertas yang terjatuh. Aku memungutnya.
“Terimakasih.”
Tanpa basa-basi, tanpa tedeng aling-aling, hanya satu kata dengan tinta warna merah, Kertasnya masih sama dengan hari lalu, putih bersih dengan emoticon cmiley di pojok kanan bawah, merah juga.
Hari ini aku berangkat siang, 11.20. kali ini pelajaran matematika, aku tak ingin banyak ketinggalan di pelajaran ini, bagaimanapun juga aku butuh ilmu. Hanya saja kadang nafsu lebih menguasaiku. Mungkin karena hanya simbok, pembantuku yang sudah ada sejak aku lahir, yang selalu menasihatiku, dia pun tak cukup berani untuk terlalu melarangku. Jangan tanya orang tuaku, ibuku terlalu sibuk dengan restorannya di Padang, dan ayahku, entah kali ini di Papua atau di kalifornia, bisnisnya membuatnya tak pernah pulang kerumah, jam terbangnya terlalu padat.
Bel pulang sekolah baru saja selesai berdering dan aku sedang berjalan menuju kantin, aku melihat gadis itu bersama teman-temannya, dia membaur, dengan semuanya, begitu cerewet dan ceria. Aku melewatinyaa, mata kami bertumbukan barang dua atau tiga detik, dia tersenyum, aku melengos.
Hari ini aku berniat untuk tak berangkat sekolah jika tak ada keterpaksaan untuk mengambil bola basketku yang kutinggal di loker sekolahku, aku sangat menyayangi bola itu, biasa memang, hnay kenangannya yang membuatnya tak biasa.
Aku berjalan setengah berlari menuju loker sekolah hingga kau lagi-lagi menabrak gadis itu, kali ini aku mengulurkan tanganku, dan dia menyambutnya.
“Makasi, Ndre.” Dia tersenyum lebar dan melenggang pergi, senyumnya indah, ada lesung di kedua pipinya, matanya tetap indah, harumnya juga teduh.
Ah, apa yang kupikirkan, aku tak mungkin memikirkan gadis yang sangat biasa itu. Aku punya Chira yang lebih segalanya, cantik dan seksi tentunya, bukan gadis berjilbab sepertinya. Gadis-gadis munafik yang hanya memakai jilbab di sekolah saja. Yah, walaupun kuakaui, Chira sangat tak pintar, beruntung dia masuk di sekolah swasta favorit, apalagi kalau bukan dengan uang, uang bisa mendapatkan segalanya.
Aku mengambil bolaku dan berjalan menuju tempat parkir. Tanpa kusadari, Gadis itu sangat sering kulihat keberadaannya, sangat aktif, sangat sportif, selalu ada di tiap sudut sekolah ini.
Seperti yang sudah-sudah, aku menjemput pacarku, Chira. Kali ini dia akan mengikuti lomba cheers antar kota, sebenarnya aku tak suka dengan cewek yang selalu mengumbar bodynya. Mereka memang seksi, tapi tak sepantasnya membuat burung tiap lelaki tegak menantang bukan. Tapi aku menikmatinya, aku sedikit bangga memiliki pacar seperti Chira. Aku tak benar-benar menyayanginya, hanya saja sudah kadung. Kalau mau jujur, aku masih berhubungan dengan beberapa cewek seksi dan cantik lainnya. Dina, Marsya, Lintang, Cila, Febi, dan siapalah yang kadang terlupa namanya. Tapi aku tak benar-benar menyukai mereka, mereka terlalu mendes, terlalu murahan. Mereka bersedia saja kucium lalu kucumbui Cuma-Cuma, atas dasar cinta. Damn! Persetan dengan cinta.
Hari ini Minggu, aku bangun jam 12 tadi. Kalua bukan Chira yang membangunkanku, aku tak akan repot-repot bangun pagi. Dia memintaku menemaninya jogging. Di sinilah aku sekarang, menemani Chira jogging. Bukan jogging kurasa, Chira terlalu enggan untuk lama-lama bersahabat dengan matahari. Dasar cewek. Aku mengantar Chira pulang, lalu mengantarnya ke rumah sakit, menjenguk omanya yang stroke. Aku masuk ke kamar perawatan oma Chira, hingga aku merasa bosan dan pamit keluar sebentar. Aku tersentak melihat dia, gadis yang selalu jatuh itu sedang sibuk mengulur selang inpusnya yang melilit di tubuhnya. Aku mengamatinya. Lucu sekali mukanya, Rambutnya berombak sebahu, kulitnya kuning dan kali ini sedikit pucat. Dia berjalan ke balkon dengan sendal besar berbentuk kepala artoon P-man. Jepit rambutnya terjatuh, tapi dia terlalu lemah untuk mengambilnya, kuamati dia, seperti begitu susah untuk menggerakkan tubuhnya, tapi dia tak menyerah hingga dia bisa mendapatkan jepit itu, tak lama dia terjatuh, lalu seorang suster muda menolongnya cepat-cepat. Gadis itu menuju balkon dan duduk di sebuah sofa. Aku ingin menghampirinya ketika tiba-tiba Chira memelukku dari belakang dan mengajakku pulang.
Pagi ini aku pergi ke bagiam administrasi dan mencari kelas gadis itu, aku ingin sekali mengenalnya. Kulenyapkan gengsiku kali ini. Tapi aku luapa, aku tak mengetahui sama sekali namanya. Hingga tiba-tiba gadis itu lewat di depanku, dia menyapa petugas administrasi ramah, juga tersenyum padaku, aku masih terdiam, tak membalas senyumnya. Entah kenapa, urat senyumku terlalu kaku untuk melakukannya.
Lalu aku bertanya kepada petugas itu, beruntung, doaku dikabulkan oleh Tuhan. Petugas itu mengenal Mala, yah namanya adalah Mala, Fremala Alifia. Nama yang rumit, tapi indah.
Aku menanyakan nomerku, dengan lobi-lobi yang merayu, ibu-ibu petugas itu memberiku alamat dan nomor handphone Mala. Malam ini aku menghubunginya.
Aku baru tahu, Mala adalah adik kelasku, dia baru kelas sepuluh, berbeda dua tahun denganku. Dia supel, selalu menyahut berbagai sms ku, juga telephone ku, dia open banget, dan satu hal yang tak dimiliki oleh orang kebanyakan, semangat dan rasa menghargai waktu, juga optimisme yang begitu besar kepada siapa saja dan dalam hal apa saja.
Sudah satu minggu aku mengenal Mala, aku jadi rajin bersekolah, tak kuhiraukan keheranan beberapa tau mungkin banyak temanku. Aku nyaman bersama Mala. Beberapa kali aku mengajak Mala pergi, tak seperti Chira, Mala bukan tipe cewek mall yang suka belanja dan nyalon, mala lebih suka tempat terbuka dengan pemandangan yang katanya spektakuler. Sore ini aku mengajaknya ke Pantai, dengan restu ibunya aku menjemputnya di rumahnya. Mala tak sekaya Chira, rumahnya simple, tapi terlihat begitu nyaman dan ramai, tak seperti rumahku atau rumah Chira yang terlalu luas untuk ditinggali.
Kukemudikan mobilku pelan, aku memang selalu menggunakan mobil ketika jalan dengan Mala. Permintaan ibunya kepadaku, Mala sendiri selalu memintaku untuk emnggunakan motor, tapi aku tak tega melihatnya selalu pucat jika kelelahan.
Seperti biasa, Mala selalu tidur, sepertiku. Aku tak berani membangunkannya sesampainya di parkiran Pantai, aku mengamatinya, lalu kukecup Pipinya, entah, aku sendiri heran dengan perlakuanku padanya.
Tak lama Mala terbangun, aku tersenyum lalu menengadahkan kepalaku dan mencubit pipinya, dia masih belum genap, hanya tertawa lalau mengajakku turun.
Mala berlarian disepanjang pantai, menembus ombak hingga kulihat wajahnya sudah mulai sedikit pucat. Kusdari Mala beberapa kali terjatuh, ah dia sering sekali terjatuh. Mala bilang dia hanya selalu kurang berhati-hati. Aku geleng-geleng dibuatnya. Kami berlari mengejar ombak, kesana-kemari hingga aku merasa kelelahan dan mengajak Mala duduk di pinggiran pantai. Tak terasa sudah senja.
“Makasih ya Andre, Mala seneng lho hari ini, hahaha” dia tertawa aku hanya tersenyum emngamatinya. “Kapan-kapan kalo boleh aku mau kayak gini lagi, dan kalo kamu nggak keberatan buat ngajak Mala beginian lagi. Dan kalau dibolehin sama Tuhan, Ah mala senneg banget. Kayanya udah beberapa tahun ini mala nggak ngerasain Pantai, nggak ngeliat matahari tenggelam dan garis pantai itu, indaaaah banget.” Mala menunjuk jauh kedepan. “ndre, makasih yaa.” Mala mencium pipikananku.
“La, aku mau tanya satu hal sama kamu.”
“Apa?” Mala menengadah ke wajahku. Aku tak menoleh.
“Menurutmu, apa hal di dunia ini yang nggak bisa dibeli pake uang.”
“Waktu.” Jawab Mala singkat.
“Kenapa?” Aku meoleh ke Mala, rambutnya menari seiring hembusan angin pantai.
“Karena waktu bikin kita belajar, belajar dalam segala hal, belajar study, belajar menghargai waktu lalu, belajar bersikap saat ini, dan belajar membenahi semuanya untuk waktu yang akan datang. Waktu itu universal, Ndre, tapi private banget. Waktu bikin kita sadar buat ngelakuin semua yang seharusnya kita perbuat, sekaligus ngebuat kita belajar buat manfaatin waktu dan nggak nyia-nyiain itu semua. God knows everything, tapi kita juga yang harus jalan.” Aku mengangguk tanda setuju. Kucubit hidungnya lalu kucium keningnya.
“Plaaaaakkk!!! “ sebuah tamparan mendarat di pipi kiriku, panas, begitu juga hatiku, panas, aaku menoleh dan berdiri, aku sedikit tersentak ketika kulihat Chira di depanku, menangis.
“Jelasin ke aku, Bi, apa ini?! Bener yah kata temenku selama ini, kamu emang punya cewek laen, kamu nyebelin! Bajingan kamu, Bi! Kamu pikir kita selama ini apa!! Kamu pikir pengorbananku buat kamu itu apa?! Aku ngasih semuanya buat kamu, aku cinta kamu, aku sayang sama kamu, Bi. Ini balesannya ?!! Jawab Bi. Jangan Cuma diem aja. Bebi butuh penjelasan!!” Chira memukuli dadaku, aku memeluknya, aku tak mungkin mengakui pada Chira bahwa aku mencintai Mala, dan dengannya hanyalah semu, tak ada rasa sama sekali. Tapi aku terlalu takut jika Chira serangan jantung dadakan. Aku menoleh pada Mala, kulihat matanya berair, bisa kutebak dia menahan tangisan. Dia meraih tangan Chira, Chira menepisnya kasar, Mala jatuh.
“Chiraa !! kamu keterlaluan !!” seruku begitu emosi, Mala pucat sekali kali ini, dan ini sepeuhnya slahaku, Mala tak pernah tahu aku punya pacar.
“Kamu bentak aku, Bi !! sejak kapan ?! sejak kapan kamu berani bentak aku ?!”
“Kamu keterlaluan !!” kataku lagi sambil menolong Mala berdiri, wajahnya pucat sekali.
Chiraa menampar Mala, aku kaget. Jalang sekali Chira, hatiku panas.
“Chiraa, apa-apaan sih !!” bentakku kalap, yang membuatku heran, Chira tak pernah memiliki serangan jantung, bukannya aku mengharapkannya, tapi semua tuduhan pembantunya itu tak terbukti di sini. Mala melangakah dan memegang tangan Chira lagi, lalu di tepisnya kasar. Gigiku gemeretak menahan emosi. Aku merangkul pundak Mala. Mala menepisnya.
“Aku nggak bermaksut, aku nggak ngerti, aku minta maaf, aku sahabatnya Andre, kamu jangan salah paham. Aku .. akuu minta maaf, akuu …”
“Bruuuukkk” Mala terjatuh. Aku menampar Chira, aku kalap. Chira masih saja terus menangis dan tak kusadari orang-orang melihat kami.
“Apa liat-liat !! Ada yang lucu?!” bentakku pada mereka. Aku menggendong Mala ke mobil dan membawanya ke rumah sakit, Chira kuajak, tapi enggan, entah dia pulang dengan siapa, aku tak peduli lagi.
Aku menghubungi ibu Mala yang sejam kemudian datang bersama suami dan kakak laki-lakinya.
“Mala kenapa, Nak Andre”
“Aku ngajak dia ke pantai, Tante, sampe tiba-tiba pacarku dateng dan..”
Aku mencoba menjelaskan ketika sebuah tinju melesat di pipi ku.
“Bangasat kamu Ndre! Salah gue percaya sama lo ! Lo bajingan! “ kakak Mala kalap dan meninjuku sekali lagi, aku tak membalas.
“udah Fabian, sudah !” papa Mala melerai.
“Lo ngerti nggak?! Adek gue kanker tulang ! Lo ngerti nggak dia butuh istirahat! Lo ngerti nggak dia sebenernya lemah! Lo tu, Lo !” Kakak Mala mengacak-acak rambutnya kesal, kalap. Aku terkejut, aku bingung, aku nyesel tahu kenyataan itu, itu nggak mungkin sekedar canda belaka.
Tak lama dokter keluar dan mereka menyuruh kami semua masuk atas dasar permintaan Mala. Aku masuk was-was, aku sedih, aku kalap, aku depresi.
Mala terlihat masih manis, wajahnya pucat sekali, tubuhnya meringkuk di atas kasur putih itu. Ibu Mala memeluknya dan menangis.
“Mah, Mala nggakpapa. Pah, Papah udah pulang?, Kak, kakak nggak ngerjain tugas kuliah, ntar dosennya sengit lagi lho.” Kata Mala sambil terkekeh lemah. Semua hanya tersenyum, getir.
“Andre, maaf yaa.”
“Sssst.” Aku menutup mulutnya dengan jari telunjukku.
“Jangan dipikirin lagi.” Kataku bergetar.
“Aku mau ngomong berdua sama Andre.” Mereka semua mengecup Mala bertubi-tubi dan beringsut keluar.
Aku mendekati Mala dan menggenggam tangannya. Kuciumi punggung tangannya berkali-kali. Bau obat tak membuat wangi tubuh Mala hilang. Aku teduh dibuatnya.
“Ndre, Mala mau..” aku memutus kalimatnya.
“Biar aku yang ngomong duluan Mala.”
“Sejak aku ketemu kamu, hidupku berubah La, aku jadi rajin berangkat sekolah buat lihat kamu, buat ngobrol sama kamu. Aku nggak pernah bolos, bahkan aku bela-belain stay di sekolah sampe sore buat liat kamu ngejalanin kegiatan kamu. Aku seneng kenal keluarga kamu, kenal temen-temen kamu yang banyaaak banget. Terlebih kenal kamu. Aku bangga Mala sama kamu, Aku sayang sama kamu. Kamu harus tahu, aku cowok paling gengsi buat ngomong kaya gini. Tapi aku beneran nggak bisa nahan lagi La, Aku cinta sama kamu.” Mala terkekeh mengejek, seperti biasa, tak berubah.
“Ndre, kamu apaan sih.” Mala masih saja terkekeh.
“Aku serius Mala, jangan bercanda dong, kamu ngerti nggak sih, susah buat aku ngelakuin hal ini.” Aku memasang wajah sedikit ngambek. Dia tertawa, terbahak. Lalu diam.
“I love you too, Ndre.” Aku terkejut.
“Apa? Aku nggak denger.”
“I L-VO-V-E Y-O-U” Mala mengejanya sambil mengelus pipiku lembut.
Aku mengecup bibirnya, Mala membalasnya hangat. Kali ini kurasakan bukan sekedar ciuman nafsu seperti yang biasa kulakukan, ciuman sayangku untuknya. Kurasakan bibir Mala diam dan dingin. Aku menangis. Gadisku tertidur.
siapa yang kubilang baik dan siapa yang kubilang tak baik, siapa yang kubilang cantik dan siapa yang kubilang tidak, siapa yang kubilang aku menyukainya dan siapa yang kubilang aku membencinya. Abstrak. Lagi-lagi bertemu di satu titik nadir, abstrak.
saat kubilang 'aku menyukai abu-abu' dan kamu menanyakannya mengapa, akankah kujawab karena abu-abu seperti kamu. Abu-abu. tak pasti bagaimana dia menampakkan warnanya. Bukan hitam, karena jelas kamu bukan seenggok cerca hitam, bukan juga putih, karena kamu tak sebersih kasa pembalut luka. Tapi pada kenyataannya akutak menjawab demikian, karena kutahu, kamu takkan mengerti.
yangkurasa indah, detail kecil yang kuingat mungkin sudah kamu hapus dari memori otakmu, apalagi memori hatimu yang begitu ringan dan sempit itu. sempit, aah itu masih terlalu luas untukku, bukankah tak ada lagi tempat untukku. Harusnya kutuliskan penuh. full. Semua berkesan, semua berarti, semua membekas dan tak tersisa untuk dibuang, disia-siakan entah kemana.
saat ku menyadari satu hal, aku bukanlah segalanya untukmu, bahkan ketika mungkin aku bukanlah sesuatu yang berarti, yang akan dirindukan keberadaannya, yang akan ditanyakan kehadirannya apalagi diharapkan untuk ada di sampingmu, menggandeng erat tanganmu dan berlari menembus mimpi menjadi kenyataan, sayang, semua semu, palsu, mimpi itu hanya harapan dan doa. miracle bkan lagi jalan, bukan lagi karena aku tak percaya, karena kamu terlalu jauh di sana. sangat jauh.
ditahan sebuah rasa, sayang, menyayangimu adalah tak pasti. ku mengerti akan sakit itu, etika hati meradang dan pilu menjadi sesak ketika kamu menghela nafasmu, sesak, umpet, penat, menjelma jadi sepilar tembok raksasa yang menghalangimu merah mimpimu, da datanglah aku yang membantumu berdiri, dan ketika kamu berdiri, ku ingin kamu tak mengetahuinya, bahwa dalam perjalanan pulang, aku terjatuh, sakit sepertimu. karena ku mengerti akan satu hal, aku sama sepertimu, menyayangi bayangan semu.
kutetapkan ini kali terakhir aku denganmu, kubebaskan jerat rasa yang menghalau tiap langkah kakiku, menyeretku perlahan ..
aku menjadikan tolok ukur kemampuanku menimbang hati, menyadarkan diri, dan membuka gerendel gembok emas dalam hatiku, dan aku bebas, aku bebas !
aku menemukan dia yang baru, kusebut sebagai kamu (baca:dia)
kamu bukanlah kamu ku lagi, karena kamu kini adalah hilang.
sekeras hati mencoba untuk melupakanmu, ada ketika kamu datang dan menghancurkan semuanya, tapi dia datang, dan KINI menggantikanmu.
bukankah memang seperti ini hidup, saat kamu terjatuh, lalu bangun, lalu jatuh lagi, seperti belajar untuk berjalan, kemudian berlari. semua adalah circle, semua berputar, seperti roda waktu yang tak akan terhenti, begitu juga hatimu sobat, berputar ...
Tuhan, menyaguhi setiap penggalangan janji salahkah bila kupenuhi tanpa rasa ikhlas. Obituari kehidupan membuatku sedikit terkesiap, tersentak pada stagnasi keadaan dimana aku tak dapat maju taupun mundur. Bagaimana jika perputaran roda itu menghantamku keras dengan janji yang kutahu akuan sulit kupenuhi. Janji yang tak mungkin kusaguhi jika aku tahu aku tak dapat menyaguhinya, namun pula janji yang tak bisa kutolak dengan mengangkat daguku tinggi-tinggi.
Yang tak bisa dilihat, namun bisa dirasakan, yang sulit didengar namun dapat dijawab dengan seksama hati-hati. Berpikir bagaimana hal yang benar utnuk membayar percikan hutang janji laknat itu. Kusumpahi sebagai laknat. Kulakukan pun akan jadi borok untukku, akan jadi bayang semu untukku. Tak kubayar sekali pun akan mengahncurkan hidupku dengan sumpah abstraknya.
JANJI, lalu bagaimana dengan cinta,
butakan dia yang merasa beruntung dengan janji yang tak menapaki tanah, melayang, mengambang di udara, semu untuk diraih. Penyadaran hati akan cinta yang buta, membuatnya kaku menjelajahi ruang mentalku yang lemah akan ketidakpastian mencari titik untuk memulai sebuah pembayaran yang tak bisa dibayangkan dengan kasat mata bahkan perasaan, fatamorgana gelap.
Dia yang terikat padaku ataukah aku yang terikat janji padanya, sungguh bayang kelam ini mengikuti setiap alur dan arus kehidupanku menapaki setiap bulir permata tajam yang silau ditatap mata telanjang, lama mengiris hati dan mengoyak perasaan.
DIA MEMBUNUHKU perlahan, dengan ikatan janji yang tak bisa kupenuhi, namun juga harus kupenuhi, dengan sadar atau bukan. Kembali pada obituari yang tak pasti. Garis kelam abu-abu yang jatuh tanpa bayangan, tak bisa diterka keberadaannya.
IRONI, jikalah ada seorang yang tahu bagaimana rasanya, kuingin seseorang itu membantuku mencari titik nadir penentuan hidupku itu. Khayal, lagi-lagi berkhayal.
AKU, DIA, dan TUHAN.
selayang kilat menembus panorama di atas awan, mencoba meraih dengan segenggam debu di atas angin..