Selasa, 01 Februari 2011

Gadisku Tertidur

Aku menyusuri koridor depan sekolah yang menuju ruang 23. Jam 10.05. Kali ini kelas sejarah, sepuluh menit lagi bel istirahat pertama, jika aku tak lupa. Kuabaikan tatapan sinis murid-murid, terlebih cewek-cewek, yang on the way ke toilet ataupun apalah aku tak peduli. Aku sampai di depan pintu kelas yang tertutup, kulihat jam di tanganku, masih delapan menit lagi, dan aku berjalan menuju toilet, aku ingin kencing. Aku berlari hingga seorang gadis tiba-tiba terduduk di depanku, aku tak peduli, aku pengen kencing. Aku melengos meninggalkannya hingga aku dengar isakan. Aku terhenti dan menengok. Dia menangis. Kenapa sih cewek tuh emosional banget, dikit-dikit nangis. Gadis itu mungil, imut kalau menangis.

“Kamu kenapa sih ?!” sentaknya membuatku buyar.

“Ngapain kamu.” Tanyaku sedingin mungkin, aku tak suka berbasa-basi dengan orang yang tak aku kenal. Dia diam, membuatku makin penasaran. Tapi aku juga tetap diam, lalu berjalan menjauhinya.

“Bruuukk !” kudengar suara jatuhan, aku menengok lagi, dia terjatuh. Aku heran, selemah itukah cewek.

“Nggak sah liat!” bentak gadis cewek itu melotot, matanya besar sekali hingga aku sedikit terkesiap melihatnya. Tapi cokelat gelap, tapi indah. Aku melengos lagi dan berjalan menuju toilet.

“bruuukkk !!” aku tak menengok.

“Bruuuuukk !!” kali ini aku menoleh, penasaran. Kulihat cewek itu terkulai di lantai, pingsan. Aku menggendongnya dan setengah berlari menuju UKS, dia memang kecil, tapi berat juga, sedangkan UKS di lantai satu tak ada penjaganya, aku membawanya ke UKS lantai atas, tapi tak juga menamukan petugas, SIAL, petugas sekolahku ngaret banget sih datengnya, selalu aja kaya gini. Aku kalap, aku bingung, begitu luasnya kah sekolah ini hingga tak ada yang melihatku, aku membawanya ke atap. Ku copot jaketku, kuletakkan sebagai alas dan kubaringkan dia di sana. Pagi ini mendung.

Aku baru bangun dari tidurku, gerimis. Segera aku menoleh ke kananku, dia tak ada. Ada selembar kertas yang tertindih pena, kuambil.

“Makasih yaa, I’ll return back your jacket soon. Aku pastiin bersih kok.”

Ku saku kertas mungil itu, tanpa nama, tanpa kelas.

Aku jadi males buat dengerin guru-guru ceramah hari ini, aku pulang, sampai parkiran handphone ku bunyi, aku liat layarnya yang lama kelip-kelip, ‘Chira’, aku angkat dengan segan.

“Hallo.”

“Enggak.”

“Hem.”

Aku menutupnya, selalu kutebak, cewekku itu pasti minta jemput. Ngerepotin banget sih, udah ada sopir juga masih aja suruh jemput. Jadi cewek ribet.

Chira bergelayut manja di lenganku, aku mengantri tiket di 21 sedangkan Chira membelikanku makanan. Aku terpaksa ngeliat film menye gini, lagi-lagi permintaan Chira, kalo bisa jujur, aku lebih suka nonton film humor, tapi aku tak ingin Chira serangan jantung mendadak gara-gara ngambek, pembantunya bilang dia penyakitan, aku nggak setega itu.

Bosan, ngantuk, aku lebih suka tidur di rumah daripada harus nonton film nangis-nangisan gini, Chira bersender dipundakku, nangis. Oh shit, bahuku basah kali ini. Lengakap sudah deritaku hari ini.

Pagi ini aku benar-benar berangkat sekolah dalam arti nggak ngaret. Kelas masih sepi pagi ini. Aku ambil bangku paling belakang. Kukeluarkan ipod ku, pasang headset di telinga, lalu tidur.

Aku dibangunkan teman sebangkuku pas perpindahan jam pelajaran, aku bosan, lagi-lagi pikiran setanku untuk bolos, dan kali ini kulakukan lagi.

Sampai di pintu keluar samping aku melihat sedan hitam di depan gerbang, seorang ibu mencium dahi anak perempuannya, anak perempuan itu keluar dari mobil dengan senyum dan langkah ringan, gadis itu lagi, hingga tiba-tiba gadis itu terjatuh tak jauh dari pintu gerbang, cepat-cepat si wanita setengah baya yang kusanggah sebagai ibunya keluar dari mobil dan membantunya berdiri, mengelus pipi gadis itu berkali-kali, matanya sendu, lalu kulihat wanita itu berkata sesuatu, si gadis menggeleng lalu mencium punggung tangan ibunya, berjalan perlahan menuju pintu depan. Aku menyaksikan perlahan. Tiba-tiba gadis itu masuk ke parkiran motor. Aku masih mengamatinya. Lama setelah itu dia keluar, dan masuk ke pintu gedung.

Aku berjalan santai menuju parkiran dan kutemukan jaketku di atas motorku. Wangi, tapi tak seperti baunya Chira yang lama-lama membuatku pusing dan mual, baunya kalem. Aku mengendusnya berkali-kali, lalu kupakai jaket itu. Ada kertas yang terjatuh. Aku memungutnya.

“Terimakasih.”

Tanpa basa-basi, tanpa tedeng aling-aling, hanya satu kata dengan tinta warna merah, Kertasnya masih sama dengan hari lalu, putih bersih dengan emoticon cmiley di pojok kanan bawah, merah juga.

Hari ini aku berangkat siang, 11.20. kali ini pelajaran matematika, aku tak ingin banyak ketinggalan di pelajaran ini, bagaimanapun juga aku butuh ilmu. Hanya saja kadang nafsu lebih menguasaiku. Mungkin karena hanya simbok, pembantuku yang sudah ada sejak aku lahir, yang selalu menasihatiku, dia pun tak cukup berani untuk terlalu melarangku. Jangan tanya orang tuaku, ibuku terlalu sibuk dengan restorannya di Padang, dan ayahku, entah kali ini di Papua atau di kalifornia, bisnisnya membuatnya tak pernah pulang kerumah, jam terbangnya terlalu padat.

Bel pulang sekolah baru saja selesai berdering dan aku sedang berjalan menuju kantin, aku melihat gadis itu bersama teman-temannya, dia membaur, dengan semuanya, begitu cerewet dan ceria. Aku melewatinyaa, mata kami bertumbukan barang dua atau tiga detik, dia tersenyum, aku melengos.

Hari ini aku berniat untuk tak berangkat sekolah jika tak ada keterpaksaan untuk mengambil bola basketku yang kutinggal di loker sekolahku, aku sangat menyayangi bola itu, biasa memang, hnay kenangannya yang membuatnya tak biasa.

Aku berjalan setengah berlari menuju loker sekolah hingga kau lagi-lagi menabrak gadis itu, kali ini aku mengulurkan tanganku, dan dia menyambutnya.

“Makasi, Ndre.” Dia tersenyum lebar dan melenggang pergi, senyumnya indah, ada lesung di kedua pipinya, matanya tetap indah, harumnya juga teduh.

Ah, apa yang kupikirkan, aku tak mungkin memikirkan gadis yang sangat biasa itu. Aku punya Chira yang lebih segalanya, cantik dan seksi tentunya, bukan gadis berjilbab sepertinya. Gadis-gadis munafik yang hanya memakai jilbab di sekolah saja. Yah, walaupun kuakaui, Chira sangat tak pintar, beruntung dia masuk di sekolah swasta favorit, apalagi kalau bukan dengan uang, uang bisa mendapatkan segalanya.

Aku mengambil bolaku dan berjalan menuju tempat parkir. Tanpa kusadari, Gadis itu sangat sering kulihat keberadaannya, sangat aktif, sangat sportif, selalu ada di tiap sudut sekolah ini.

Seperti yang sudah-sudah, aku menjemput pacarku, Chira. Kali ini dia akan mengikuti lomba cheers antar kota, sebenarnya aku tak suka dengan cewek yang selalu mengumbar bodynya. Mereka memang seksi, tapi tak sepantasnya membuat burung tiap lelaki tegak menantang bukan. Tapi aku menikmatinya, aku sedikit bangga memiliki pacar seperti Chira. Aku tak benar-benar menyayanginya, hanya saja sudah kadung. Kalau mau jujur, aku masih berhubungan dengan beberapa cewek seksi dan cantik lainnya. Dina, Marsya, Lintang, Cila, Febi, dan siapalah yang kadang terlupa namanya. Tapi aku tak benar-benar menyukai mereka, mereka terlalu mendes, terlalu murahan. Mereka bersedia saja kucium lalu kucumbui Cuma-Cuma, atas dasar cinta. Damn! Persetan dengan cinta.

Hari ini Minggu, aku bangun jam 12 tadi. Kalua bukan Chira yang membangunkanku, aku tak akan repot-repot bangun pagi. Dia memintaku menemaninya jogging. Di sinilah aku sekarang, menemani Chira jogging. Bukan jogging kurasa, Chira terlalu enggan untuk lama-lama bersahabat dengan matahari. Dasar cewek. Aku mengantar Chira pulang, lalu mengantarnya ke rumah sakit, menjenguk omanya yang stroke. Aku masuk ke kamar perawatan oma Chira, hingga aku merasa bosan dan pamit keluar sebentar. Aku tersentak melihat dia, gadis yang selalu jatuh itu sedang sibuk mengulur selang inpusnya yang melilit di tubuhnya. Aku mengamatinya. Lucu sekali mukanya, Rambutnya berombak sebahu, kulitnya kuning dan kali ini sedikit pucat. Dia berjalan ke balkon dengan sendal besar berbentuk kepala artoon P-man. Jepit rambutnya terjatuh, tapi dia terlalu lemah untuk mengambilnya, kuamati dia, seperti begitu susah untuk menggerakkan tubuhnya, tapi dia tak menyerah hingga dia bisa mendapatkan jepit itu, tak lama dia terjatuh, lalu seorang suster muda menolongnya cepat-cepat. Gadis itu menuju balkon dan duduk di sebuah sofa. Aku ingin menghampirinya ketika tiba-tiba Chira memelukku dari belakang dan mengajakku pulang.

Pagi ini aku pergi ke bagiam administrasi dan mencari kelas gadis itu, aku ingin sekali mengenalnya. Kulenyapkan gengsiku kali ini. Tapi aku luapa, aku tak mengetahui sama sekali namanya. Hingga tiba-tiba gadis itu lewat di depanku, dia menyapa petugas administrasi ramah, juga tersenyum padaku, aku masih terdiam, tak membalas senyumnya. Entah kenapa, urat senyumku terlalu kaku untuk melakukannya.

Lalu aku bertanya kepada petugas itu, beruntung, doaku dikabulkan oleh Tuhan. Petugas itu mengenal Mala, yah namanya adalah Mala, Fremala Alifia. Nama yang rumit, tapi indah.

Aku menanyakan nomerku, dengan lobi-lobi yang merayu, ibu-ibu petugas itu memberiku alamat dan nomor handphone Mala. Malam ini aku menghubunginya.

Aku baru tahu, Mala adalah adik kelasku, dia baru kelas sepuluh, berbeda dua tahun denganku. Dia supel, selalu menyahut berbagai sms ku, juga telephone ku, dia open banget, dan satu hal yang tak dimiliki oleh orang kebanyakan, semangat dan rasa menghargai waktu, juga optimisme yang begitu besar kepada siapa saja dan dalam hal apa saja.

Sudah satu minggu aku mengenal Mala, aku jadi rajin bersekolah, tak kuhiraukan keheranan beberapa tau mungkin banyak temanku. Aku nyaman bersama Mala. Beberapa kali aku mengajak Mala pergi, tak seperti Chira, Mala bukan tipe cewek mall yang suka belanja dan nyalon, mala lebih suka tempat terbuka dengan pemandangan yang katanya spektakuler. Sore ini aku mengajaknya ke Pantai, dengan restu ibunya aku menjemputnya di rumahnya. Mala tak sekaya Chira, rumahnya simple, tapi terlihat begitu nyaman dan ramai, tak seperti rumahku atau rumah Chira yang terlalu luas untuk ditinggali.

Kukemudikan mobilku pelan, aku memang selalu menggunakan mobil ketika jalan dengan Mala. Permintaan ibunya kepadaku, Mala sendiri selalu memintaku untuk emnggunakan motor, tapi aku tak tega melihatnya selalu pucat jika kelelahan.

Seperti biasa, Mala selalu tidur, sepertiku. Aku tak berani membangunkannya sesampainya di parkiran Pantai, aku mengamatinya, lalu kukecup Pipinya, entah, aku sendiri heran dengan perlakuanku padanya.

Tak lama Mala terbangun, aku tersenyum lalu menengadahkan kepalaku dan mencubit pipinya, dia masih belum genap, hanya tertawa lalau mengajakku turun.

Mala berlarian disepanjang pantai, menembus ombak hingga kulihat wajahnya sudah mulai sedikit pucat. Kusdari Mala beberapa kali terjatuh, ah dia sering sekali terjatuh. Mala bilang dia hanya selalu kurang berhati-hati. Aku geleng-geleng dibuatnya. Kami berlari mengejar ombak, kesana-kemari hingga aku merasa kelelahan dan mengajak Mala duduk di pinggiran pantai. Tak terasa sudah senja.

“Makasih ya Andre, Mala seneng lho hari ini, hahaha” dia tertawa aku hanya tersenyum emngamatinya. “Kapan-kapan kalo boleh aku mau kayak gini lagi, dan kalo kamu nggak keberatan buat ngajak Mala beginian lagi. Dan kalau dibolehin sama Tuhan, Ah mala senneg banget. Kayanya udah beberapa tahun ini mala nggak ngerasain Pantai, nggak ngeliat matahari tenggelam dan garis pantai itu, indaaaah banget.” Mala menunjuk jauh kedepan. “ndre, makasih yaa.” Mala mencium pipikananku.

“La, aku mau tanya satu hal sama kamu.”

“Apa?” Mala menengadah ke wajahku. Aku tak menoleh.

“Menurutmu, apa hal di dunia ini yang nggak bisa dibeli pake uang.”

“Waktu.” Jawab Mala singkat.

“Kenapa?” Aku meoleh ke Mala, rambutnya menari seiring hembusan angin pantai.

“Karena waktu bikin kita belajar, belajar dalam segala hal, belajar study, belajar menghargai waktu lalu, belajar bersikap saat ini, dan belajar membenahi semuanya untuk waktu yang akan datang. Waktu itu universal, Ndre, tapi private banget. Waktu bikin kita sadar buat ngelakuin semua yang seharusnya kita perbuat, sekaligus ngebuat kita belajar buat manfaatin waktu dan nggak nyia-nyiain itu semua. God knows everything, tapi kita juga yang harus jalan.” Aku mengangguk tanda setuju. Kucubit hidungnya lalu kucium keningnya.

“Plaaaaakkk!!! “ sebuah tamparan mendarat di pipi kiriku, panas, begitu juga hatiku, panas, aaku menoleh dan berdiri, aku sedikit tersentak ketika kulihat Chira di depanku, menangis.

“Jelasin ke aku, Bi, apa ini?! Bener yah kata temenku selama ini, kamu emang punya cewek laen, kamu nyebelin! Bajingan kamu, Bi! Kamu pikir kita selama ini apa!! Kamu pikir pengorbananku buat kamu itu apa?! Aku ngasih semuanya buat kamu, aku cinta kamu, aku sayang sama kamu, Bi. Ini balesannya ?!! Jawab Bi. Jangan Cuma diem aja. Bebi butuh penjelasan!!” Chira memukuli dadaku, aku memeluknya, aku tak mungkin mengakui pada Chira bahwa aku mencintai Mala, dan dengannya hanyalah semu, tak ada rasa sama sekali. Tapi aku terlalu takut jika Chira serangan jantung dadakan. Aku menoleh pada Mala, kulihat matanya berair, bisa kutebak dia menahan tangisan. Dia meraih tangan Chira, Chira menepisnya kasar, Mala jatuh.

“Chiraa !! kamu keterlaluan !!” seruku begitu emosi, Mala pucat sekali kali ini, dan ini sepeuhnya slahaku, Mala tak pernah tahu aku punya pacar.

“Kamu bentak aku, Bi !! sejak kapan ?! sejak kapan kamu berani bentak aku ?!”

“Kamu keterlaluan !!” kataku lagi sambil menolong Mala berdiri, wajahnya pucat sekali.

Chiraa menampar Mala, aku kaget. Jalang sekali Chira, hatiku panas.

“Chiraa, apa-apaan sih !!” bentakku kalap, yang membuatku heran, Chira tak pernah memiliki serangan jantung, bukannya aku mengharapkannya, tapi semua tuduhan pembantunya itu tak terbukti di sini. Mala melangakah dan memegang tangan Chira lagi, lalu di tepisnya kasar. Gigiku gemeretak menahan emosi. Aku merangkul pundak Mala. Mala menepisnya.

“Aku nggak bermaksut, aku nggak ngerti, aku minta maaf, aku sahabatnya Andre, kamu jangan salah paham. Aku .. akuu minta maaf, akuu …”

“Bruuuukkk” Mala terjatuh. Aku menampar Chira, aku kalap. Chira masih saja terus menangis dan tak kusadari orang-orang melihat kami.

“Apa liat-liat !! Ada yang lucu?!” bentakku pada mereka. Aku menggendong Mala ke mobil dan membawanya ke rumah sakit, Chira kuajak, tapi enggan, entah dia pulang dengan siapa, aku tak peduli lagi.

Aku menghubungi ibu Mala yang sejam kemudian datang bersama suami dan kakak laki-lakinya.

“Mala kenapa, Nak Andre”

“Aku ngajak dia ke pantai, Tante, sampe tiba-tiba pacarku dateng dan..”

Aku mencoba menjelaskan ketika sebuah tinju melesat di pipi ku.

“Bangasat kamu Ndre! Salah gue percaya sama lo ! Lo bajingan! “ kakak Mala kalap dan meninjuku sekali lagi, aku tak membalas.

“udah Fabian, sudah !” papa Mala melerai.

“Lo ngerti nggak?! Adek gue kanker tulang ! Lo ngerti nggak dia butuh istirahat! Lo ngerti nggak dia sebenernya lemah! Lo tu, Lo !” Kakak Mala mengacak-acak rambutnya kesal, kalap. Aku terkejut, aku bingung, aku nyesel tahu kenyataan itu, itu nggak mungkin sekedar canda belaka.

Tak lama dokter keluar dan mereka menyuruh kami semua masuk atas dasar permintaan Mala. Aku masuk was-was, aku sedih, aku kalap, aku depresi.

Mala terlihat masih manis, wajahnya pucat sekali, tubuhnya meringkuk di atas kasur putih itu. Ibu Mala memeluknya dan menangis.

“Mah, Mala nggakpapa. Pah, Papah udah pulang?, Kak, kakak nggak ngerjain tugas kuliah, ntar dosennya sengit lagi lho.” Kata Mala sambil terkekeh lemah. Semua hanya tersenyum, getir.

“Andre, maaf yaa.”

“Sssst.” Aku menutup mulutnya dengan jari telunjukku.

“Jangan dipikirin lagi.” Kataku bergetar.

“Aku mau ngomong berdua sama Andre.” Mereka semua mengecup Mala bertubi-tubi dan beringsut keluar.

Aku mendekati Mala dan menggenggam tangannya. Kuciumi punggung tangannya berkali-kali. Bau obat tak membuat wangi tubuh Mala hilang. Aku teduh dibuatnya.

“Ndre, Mala mau..” aku memutus kalimatnya.

“Biar aku yang ngomong duluan Mala.”

“Sejak aku ketemu kamu, hidupku berubah La, aku jadi rajin berangkat sekolah buat lihat kamu, buat ngobrol sama kamu. Aku nggak pernah bolos, bahkan aku bela-belain stay di sekolah sampe sore buat liat kamu ngejalanin kegiatan kamu. Aku seneng kenal keluarga kamu, kenal temen-temen kamu yang banyaaak banget. Terlebih kenal kamu. Aku bangga Mala sama kamu, Aku sayang sama kamu. Kamu harus tahu, aku cowok paling gengsi buat ngomong kaya gini. Tapi aku beneran nggak bisa nahan lagi La, Aku cinta sama kamu.” Mala terkekeh mengejek, seperti biasa, tak berubah.

“Ndre, kamu apaan sih.” Mala masih saja terkekeh.

“Aku serius Mala, jangan bercanda dong, kamu ngerti nggak sih, susah buat aku ngelakuin hal ini.” Aku memasang wajah sedikit ngambek. Dia tertawa, terbahak. Lalu diam.

“I love you too, Ndre.” Aku terkejut.

“Apa? Aku nggak denger.”

“I L-VO-V-E Y-O-U” Mala mengejanya sambil mengelus pipiku lembut.

Aku mengecup bibirnya, Mala membalasnya hangat. Kali ini kurasakan bukan sekedar ciuman nafsu seperti yang biasa kulakukan, ciuman sayangku untuknya. Kurasakan bibir Mala diam dan dingin. Aku menangis. Gadisku tertidur.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

ayoo comment :p
makasi :D