Minggu, 06 Februari 2011

KASIH



Hell yeah. Apa yang harus aku tulis sekarang. Aku tidak tahu harus menulis apa. Banyak sekali kata yang ingin mencuat keluar dari hatiku, tapi lagi-lagi terpojok di otakku saja. Tidak lagi bisa mengalir indah di jari-jemariku.

Satu kalimat yang sedari tadi menggantung di permukaan otakku. ‘Aku cinta mami’. Dari sekian juta orang yang kutemui hanya beliaulah yang paling mengerti aku nomor 2 setelah Allah. Entah bagaimana aku ingin meluapkan pada beliau bahwa aku begitu mencintainya. Amat sangat menyayanginya. Begitu besar kasihku untuknya. Tanpa disadari, hanya beliaulah dan juga keluargaku yang dapat menerimaku apa adanya, apapun dan bagaimanapun keadaanku. Dan beliau salah satu yang paling kusayang di dunia ini. Nomor satu setelah Allah tentu saja.

Kadang aku tersenyum mengingat semua hal tentang rasa bahagiaku dan amarahku untuk beliau. Rasa kecewa, gundah, galau, sedih, bahagia, semuanya.

Beliau benar-benar menyayangiku, aku yakin itu. Layaknya semua ibu di dunia. Mereka mempunyai cara sendiri untuk mengungkapkan rasa sayangnya, melalui apapun itu. Begitu juga dengan ibuku.

Satu dua memori mulai melintas di benakku, lalu sili berganti memori memori indah lainnya mengikuti.

Aku ingat benar kapan terakhir aku mulai makan tanpa disuapi oleh beliau. Percaya atau tidak, aku makan tanpa disuapinya baru beberapa bulan silam. Sekitar liburan kelulusan tahun ini. Aku juga tak pernah lupa ketika semua orang mengejekku karena mereka pikir aku sudah terlalu besar untuk disuapi. Dan aku tak peduli mereka semua berkata apa tentang diriku. Yang aku tahu aku menyukainya. Aku menyukai tiap suapan lembut yang beliau berikan untukku. Suapan kasih, suapan sayang, suapan cinta yang maha dahsyatnya. Aku akan selalu ingat. Akhir kelas sembilan aku dihadapkan oleh berbagai ujian mingguan, ujian bulanan, try out, mid, jam ke-nol, les tambahan, dan banyak kegiatan yang menunjang kelulusanku. Aku harus berangkat pagi. Jam enam pagi aku harus sudah berangkat karena jam ke-nol dimulai jam enam limabelas. Aku menyadari kebiasaanku yang tak bisa bangun pagi, tapi demi sekolahku, aku rela bangun lebih pagi, menyiapkan segala tugas dan belajar. Aku tak pernah sarapan jika bukan ibuku yang menyuapinya. Biasanya ayahku yang selalu membangunkanku sedangkan ibuku berada di dapur untuk menyiapkan sarapan sejak dini hari. Ketika aku keluar dari kamar mandi, ibuku akan mengikutiku dengan sepiring nasi di tangannya. Menyuapiku sambil menemaniku ganti baju di kamar. Menyuapiku sambil menungguiku yang sibuk dengan persiapan sekolahku. Mengikuti kemanapun aku pergi, ke teras rumah memakai sepatu, masuk lagi mengambil tas lalu mengeluarkan motorku dari rumah. Ibuku selalu mengikutiku, hanya demi beberapa suap nasi yang akan menunjang hariku saat itu. Tiap pagi tiap hari, bertahun-tahun selalu seperti itu. Begitu sabar beliau padaku, banyak kasih yang beliau curahkan untukku, tapi aku tak pernah mensyukurinya. Ada saja masalah kecil yang membuatku menggerutu tak jelas padanya. Aku menyesal jika mengingatnya, yah aku menyesal sekali. Aku merutuki diriku sendiri karenanya.

Aku sadar betapa egoisnya aku beberapa tahun silam ketika ibuku terserang penyakit laknat itu. Penyakit yang mematikan dan membuat kacau seluruh tatanan kehidupan keluargaku. Aku tak bisa menerimanya langsung, menerima kenyataan tanpa ada ibuku yang selalu ada di dapur tiap kali aku bangun tidur dan wudhlu di kamar mandi, aku tak bisa menerima kenyataan tak ada senyum penantian ketika beliau menjemputku sekolah. Aku tak bisa menerima kenyataan melihat ibuku yang begiu aktif dengan pekerjaan kantor dan rumah tangganya tiba-tiba terkulai lemas tak berdaya di pembaringan rumah sakit. Aku tak bisa menerimanya langsung. Aku butuh proses kali itu. Hingga hal itu membuatku menyadari dua hal penting di atas hal penting lainnya. Aku egois pada ibuku, aku tak bisa melawan kesendirianku tanpa ibuku, tanpa aku sadari ibuku mengajariku banyak hal untuk mandiri, untuk beriri sendiri agar aku dapat tetap hidup nanti, tanpa beliau. Dua aku menyayanginya, aku mengasihinya begitu besar hingga aku tak mungkin sanggup untuk kehilangannya lagi. Betapa sakit rasanya ketika aku dibayangi rasa akan kehilangan, menit demi menit, lalu jam, lalu hari berganti. Dua tahun aku terbelenggu bayangan itu. Aku belajar banyak hal karenanya. Aku sedikit mengerti bagaimana menyayangi beliau lebih dan lebih.

Cerita itu hanya dua memori yang melintas di otakku. Hanya dua dari berjuta-juta keindahan yang pernah aku ukir bersamanya. Sejak aku belum menyadarinya hingga aku dilahirkan di dunia ini. Dengan keadaan sempurna, dalam keadaan suci untuk menyayangi beliau. Beliau yang melahirkanku tanpa keluh dan kesah.

Aku memang belum mencintainya dengan sempurna, tapi aku berjanji untuk menyaguhinya, selalu berusaha mencintainya dengan sempurna. Aku tak ingin membuat beliau bangga denganku, tapi aku ingin beliau behagia dengan keberadaanku, dengan seluruh kasih sayang yang beliau berikan untukku, ku kembalikan dengan caraku sendiri untuk mengasihinya.

Aku mengiyakan seluruh permintaanya untukku, sekalipun itu tak pernah aku sukai. Aku menyaguhi seluruh keinginannya sekalipun aku lebih menginginkan yang lain yang menurut diriku lebih baik. Bukankah aku hidup untuk menyenangkan beliau. Dan sesuatu yang beliau senangi adalah sebagian yang terbaik untukku. Aku yakin itu.

Satu menit yang lalu ketika aku sedang menuliskan paragraph demi paragraph ini. Beliau meneriakiku dari ruang tamu, tepat setelah beliau usai sholat isya. Beliau menyuruhku untuk memakai kacamataku. Aku mengiyakannya saja. Satu hal yang aku suka dari beliau. Pandangan ibuku tak pernah luput dariku, beliau mengetahui mana yang terbaik untukku, perhatiannya tak akan habis untukku. Hal sekecil apapun itu.

Aku tak akan menulis kalimat penutup dengan kata ‘I love you, mom’ seperti kebanyakan tulisan dibuat. Karena tanpa aku menuliskannya, kuyakin aku lebih tahu bahwa aku memang benar-benar mencintainya, dengan caraku sendiri tentunya.

Sepeti orang-orang memanggilnya, Kasih , dengan mendengarnya pun aku tahu beliau adalah kasih yang selalu ada untukku. Kasih yang tiada habisnya untuk keluarga dan anak-anaknya, untuk semua yang beliau abdikan. Kasih.

Satu doaku padaMu Tuhan, aku ignin beliau bahagia. Itu saja sudah cukup untukku.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

ayoo comment :p
makasi :D